Udah lama rasanya gue ga nulis di blog. Jujur kangen haha. Orang
kalo kangen sama doi ini sama nulis wkwk yaudahlah ya nanti juga ada saatnya
gue kangen sama doi. Doain yup aamiin. After everything dari
gue yang so sibuk sampe mager jadi kaum rebahan akhirnya gue sempatkan untuk
menulis sekarang.
April nanti umur gue 22 tahun. Hm actually I don't know what
I'm feeling knowing that I'm getting older. First of all pastinya gue
bersyukur masih dikasih umur yang gue artikan gue masih dikasih kesempatan
untuk memperbaiki diri, berbakti sama ortu, dan bermanfaat bagi
seluasnya-luasnya semesta. I'm not 'really happy' nor be sad ya b
aja. Karena makin sini gue makin sadar kalo umur itu only counting numbers. That's
it. Dan sebenernya bertambah umur lo di dunia it means berkurang umur
lo di akhirat. And the meaning of increasing age can be different every
person because of some reasons. Dari apa yang gue alami dan pelajari, salah
satunya bisa karena all what body consumption it makes who we are today. Not
only food but also mind. Dan justru menurut gue itu poin pentingnya. How
we react for every situation that happen. I still remember my principal's quote
in junior high school. It's like his quote that he always said in ceremony. You
are what you think. Dulu gue ga ngerti maksudnya apa. Tapi makin sini
lambat laun gue bisa memahami maksud dari kalimat itu. And that's what
shape and define us. I hope you too guys. Kalo belum, berarti lo masih
kurang 'main' masih kurang 'explorating' dan lo belum kenal bahkan
belum nemuin diri lo yang sebenernya.
Sesuai sama judul yang gue tulis, akhirnya di umur yang mau 22 ini
gue mulai nyaman buat ngomongin soal jodoh and yup pastinya
pernikahan. Dari dulu kebanyakan orang selalu mandang gue orang yang kalem,
dewasa, anggun, dkk nya yang cewe banget. Gue ga nyangkal sih, karena most
of them gue rasa bener. Walaupun ada beberapa yang gue kurang setuju
karena deep in me gue ga ngerasa itu. Tapi ya penilaian orang perlu
kita hargai juga. Dan sometimes we can't see what people can see. Jadi ya itu
penyeimbang lah ya.. Dan karena kebanyakan sifat itu akhirnya orang suka bilang
kalo gue termasuk orang yang bakal nikah cepet. Tapi sayangnya gue ga ngerasa
gitu hehe. Bukan gue gamau nikah cepet, tapi ya belum aja. Dan di sini gue
bakal cerita, buka-bukaan soal hal ini karena ya menurut gue udah tepat aja
momennya. Semoga ada pelajaran yang bisa diambil walau sedikit.
Dulu gue termasuk orang yang anti pati kalo udah
ngomongin soal laki-laki, pacar, jodoh, dan terakhir pastinya pernikahan. Even itu circle terdekat
gue. Gue si ngerasanya gue ambivert yang condong introvert.
Walaupun kalo tes-tes psikotes lebih seringnya menunjukkan kalo gue ekstrovert.
Ya apalah arti test-test itu yang penting Allah lebih tau kita lah ya
(pembelaan tapi bener kan haha). Jadi gue suka gamau atau bahkan orang ga boleh
tau apa yang gue rasain. Termasuk rasa dan perasaan sama lawan jenis eaaa. Ya
gue mikirnya cukup Allah sama gue aja lah yang tau. Itu urusan kehidupan
pribadi gue kek ngapain juga gue umbar dan ngapain juga orang perlu tau. Gitu
lah ya semoga mengerti hehe. Sampai temen SMP gue dulu bilang, "oh bil
ternyata lo bisa suka juga sama cowo". Dalam hati gue "hellow gue
juga normal kali ya bisa lah wkwk" tapi yang keluar "yaiyalah gue
juga normal". Saking gue ga pernah punya concern ke situ saat
itu. Dan gue inget kalo lagi sesi curhat dulu zaman-zaman mentoring waktu SMP,
saat temen-temen yang lain curhat masalah cowo, gue sendirian yang curhat
masalah kesibukan dan akademis wkwk. Cielah gaya bet gue dulu sibuk belajar,
organisasi, main sama temen, baca buku, crafting, apapun pokoknya sampe
ter-mindsetting ga boleh ada waktu sia-sia yang ga ngehasilin hehe dan
yang terpenting I'm happy for that.
#buatyangtautauaja sampe ga pekanya gue, zaman-zaman ngalamin
cinta monyet kalo orang bilang wkwk jadi ada cowo nih deketin gue, ya gue
santuy aja temen deket boy laki-laki. Karena sebelumnya gue ga pernah
gitu punya temen main laki. Terus-terus kita nyambung makin intens tu smsan.
Tapi ya gue ga ngerasa gimana-gimana karena ya emang gue gamau aja kalaupun
sampe pacaran. Fokus gue tetep sekolah, akademik. Iya singkat cerita gue
ditusuk tuh dari belakang wakakak. Dia jadian sama temen gue ya waktu itu bisa
dibilang deket. Karena kita satu mentoringan juga. Gue ga nyangka juga si
ternyata doi berani ambil langkah buat pacaran tapi ya orang kan dinamis who
knows. Lanjut
Begitu pun masa SMA. Ada aja warna-warni itu. Tapi SMA ga
sekompleks itu karena ya gue lebih bisa menepis dan makin mature kali
ya. Ditambah posisi gue waktu itu yang mau ga mau jadi 'teladan' lah. Gue yang
gamau, ditambah kondisi itu jadi makin ga mungkin. Alhamdulillah.. Allah masih menjaga
dan melindungi.
Next di masa kuliah sekarang. Yuhuu warna-warni nya lebih
beragam dan levelnya juga lebih tinggi wkwk.. Kalo dijembrengin lagi bakal
berepisode-episode kali ah ni cerita wkwk. Drama of life guys no problem.
Sampai pada akhirnya.. setelah apa yang gue lalui.. gue belajar dan sedikit
demi sedikit untuk mau dan lebih terbuka sama sekitar.. not for people
appreciate and understand me, but for healing myself. Belajar untuk
mengungkapkan apa yang dirasakan. Berbagai macam emosi dan rasa. Tapi tetap
berbatas untuk menjaga perasaan orang lain juga. Jangan sampai kita bercerita,
meluapkan segala emosi, tanpa menimbal balik kondisi orang yang kita ajak
cerita. Bisa jadi, dia sedang dan bahkan mengalami kejadian yang lebih luar
biasa dan kita tidak empati akan hal itu. Karena kita gatau seberapa besar
kadar ujiannya. Terkadang kita menyamaratakan standar penilaian kita terhadap
orang lain. Padahal bisa jadi yang kita anggap mudah, sulit bagi orang lain
begitupun sebaliknya.
Tolong, maaf, dan terima kasih, tiga kata yang terlihat dan
terdengar simple, tapi nyatanya susah untuk diucapkan dan diungkapkan.
Padahal, jika tiga kata ini terbiasa diterapkan, insyaAllah kita akan
merasakan part ketenangan hidup yang sering Allah sebutkan.
Berdamai dengan diri sendiri, lingkungan, orang tua, apapun yang
kita dekat bersentuhan dengannya, lingkaran pengaruh kita, berserah dan
berpasrah kepada Sang Pemilik hidup maka akan kita dapati kehidupan yang
menentramkan dan menyejukkan, senantiasa dipenuhi rasa syukur bagaimanapun
kondisi menerpa. Begitupun perihal jodoh, Allah tahu saat yang tepat kapan itu
diwujudkan. Tidak terlalu cepat, tidak juga terlambat. Life isn't a race. Itu
semua dapat diikhtiarkan dengan seberapa cepat kita memproses diri menjadi
lebih baik dalam setiap tahapan kehidupan. Coba cek lagi, introspeksi kembali
barangkali ada hal lain yang menunggu untuk diselesaikan terlebih dahulu.
Termasuk menemukan 'jati diri' yang mendekatkan kita pada Sang Pencipta. Jangan
berharap melangkah ke jenjang yang lebih serius, kalau urusan yang berkaitan
dengan diri sendiri saja kita belum mampu menyelesaikannya. Bagaimana nanti
mengurusi hal yang lebih besar dan kompleks.
Menikah bukan hanya sekedar memenuhi nafsu karena naluriah cinta
manusia atau karena 'rules of life' dan umur yang kian menua.
Meskipun menikah muda adalah sunnah yang lebih disarankan, tapi jangan sampai
menikahnya kita karena sudah 'tidak sabar meluapkan rasa'. Ingat kembali ke
niat. Iman, ilmu, amal. Dan memang hukum asal menikah itu sunnah, walau dapat
berbeda dan berubah menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram
bergantung pada kondisi masing-masing orang. Perlu diingat pula bahwa 'rasa suka
kepada makhluk' ada diurutan kedua (lupa ini materinya apa) tentang hasrat atau
rasa yang mungkin harus dipenuhi. Karena nomor satu nya harus tetap karena
Allah. Kan Allah pula yang membolak-balikkan hati ye ga? Jadi ibaratnya
mudah juga buat kita jatuh cinta sama siapa saja. Maka labuhkan lah kepada
orang yang tepat uhuk. Makannya mungkin istilah bangun cinta itu lebih
tepat karena dilakukan setelah menikah. Kalo jatuh cinta terus we jatuh
terperosok jadinya dosa bukan pahala hm wkwk. Kurleb gitu lah ya nanti kita
ubek-ubek lagi tentang materi yang tadi w lupa.
Menikah merupakan ibadah, menyempurnakan setengah din dan akan menjadi ibadah terlama. Merupakan satu perjanjian, ikatan suci yang dalam Al-Quran Allah bahasakan Mitsaqan Ghaliza. Maka memilih pasangan akan ikut menentukan masa depan termasuk masa depan hingga ke akhirat. Ada ilmu dan bekal yang perlu dipersiapkan hingga masa itu tiba. Ketika Allah benar-benar tahu kita siap. Jangan menuntut dan mengharapkan jodoh yang a, b, c, tapi kita tidak berusaha juga menjadi a, b, c. Jodoh itu cerminan diri, maka waktu terbaik dalam menunggu adalah dengan terus memperbaiki dan mendekatkan diri kepada Sang Pemilik hidup. Karena kita tidak tahu, mana yang lebih dahulu menjemput, jodoh ataukah kematian. Wallahu'alam.